Rabu, 20 April 2011

KARTINI : DARI KEGELAPAN MENUJU CAHAYA

Oleh : Rina Marlia Aprianti, S.Si
(Ketua Pimpinan Wilayah Persaudaraan Muslimah (Salimah)
Kepulauan Bangka Belitung)

“Allah Pemimpin orang-orang beriman, Dia  mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya” (Q.S. Al Baqoroh : 257).
Kalimat inilah kemudian yang menjadi inspirasi bagi Kartini –ketika itu-  untuk membawa kaum perempuan keluar dari kebodohan dan keterpinggiran sehingga mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan layak. Begitu sering Kartini menulis dalam surat-surat kepada sahabat-sahabatnya ‘Minazh Zhulumaati ilan Nuur’ (dari gelap menuju cahaya), oleh Kartini diterjemahkan dalam Bahasa Belanda menjadi ‘Door Duisternis Tot Licht’. Karena seringnya kata-kata tersebut muncul dalam surat-surat Kartini, maka Mr. Abendanon yang mengumpulkan surat-surat Kartini menjadikan kata-kata tersebut sebagai judul dari kumpulan surat Kartini. Yang kemudian terlanjur diartikan menjadi ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ oleh Armin Pane. Padahal Prof. Dr. Haryati Soebadio, mantan Menteri Sosial RI, yang notabene cucu tiri R.A. Kartini mengartikan buku itu menjadi ‘Dari Gelap Menuju Cahaya’.

Perjalanan panjang seorang Kartini yang cerdas dalam meretas jalan menuju terang akhirnya berlabuh pada indahnya hidayah Islam. Makna yang dalam ingin disampaikannya adalah bagaimana membawa manusia dari kegelapan (kejahiliyahan atau kebodohan) ke tempat yang terang benderang (kebenaran Al Haq). Dengan bahasa halus Kartini menyatakan : “Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.” [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902].
Kartini kemudian merumuskan arti pentingnya pendidikan untuk wanita, bukan untuk menyaingi kaum laki-laki seperti yang diyakini oleh para aktivis feminisme dan emansipasi saat ini, namun agar lebih cakap dalam menjalankan kewajibannya sebagai ibu.
Kartini menulis, “Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” [kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902].
Karena pengaruh hidayah ini juga mengubah pandangan Kartini terhadap Barat, Kartini menulis:
“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” [kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902].
Jikalau masa Kartini perjuangannya belum selesai, baru dari tatanan pemikiran, maka sebenarnya semangat pemikiran Kartini ini telah dirintis dan dilakukan dengan tindakan nyata oleh perempuan-perempuan Indonesia luar biasa sebelum era Kartini. Sebut saja Cut Nyak Dhien, Cut Meutia yang telah dengan gigih maju ke medan perang untuk mengusir penjajahan dari muka bumi Indonesia. Mereka maju ke ranah pertempuran bukan karena merasa lebih dari laki-laki, tapi secara berdampingan membantu untuk menghapus penindasan dari tanah air tercinta.
Panglima Laksamana Malahayati, yang namanya mungkin terlupakan dari deretan nama-nama besar perempuan dalam sejarah perjuangan Indonesia. Beliau adalah laksamana perempuan pertama yang memimpin angkatan laut. Petarung garis depan. Pemimpin laskar Inong Balee, pasukan prajurit yang dibentuknya terdiri dari para janda, yang disegani musuh dan kawan. Bersama pasukannya, Malahayati juga membangun benteng dan benteng tersebut dinamai Benteng Inong Balee.      Di bawah kepemimpinan Malahayati, Angkatan Laut Kerajaan Aceh terbilang besar dengan armada yang terdiri dari ratusan kapal perang.
Kemudian Raden Dewi Sartika, yang mendirikan Sekolah Perempuan Pertama di Bandung, yang mendobrak tradisi adat saat itu, dimana perempuan tidak memiliki kebebasan dalam menimba ilmu. Ketika ditanya oleh Inspektur Hindia Belanda, C.Den Hammer mengenai alasan pendirian sekolah tersebut, Ibu Dewi menjawab: “Saya ingin menanamkan kepada perempuan bumi putera, sebagai perempuan mereka harus bisa segala-gala. Agar mereka punya rasa percaya diri terhadap kemampuannya dan tidak melulu bergantung pada suami, apalagi pada belas kasihan orang lain.”
Eksistensi yang ingin dibangun oleh para perempuan luar biasa ini pada hakikatnya adalah bukan eksistensi yang kebablasan, tapi tetap sesuai dengan kodrat, fitrahnya sebagai seorang perempuan. Seperti yang diungkapkan oleh Kartini dalam suratnya, "Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya".
Kewajiban untuk menuntut ilmu merupakan kesempatan yang sama baik laki-laki maupun perempuan. Ribuan abad yang lalu, manusia agung Rasulullah SAW telah menyampaikan pesannya bahwa ‘Menuntut ilmu adalah kewajiban tiap Muslim dan Muslimah’, atau pun ungkapan lain yang disampaikan oleh Rasullah SAW, ‘Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat’ berlaku untuk laki-laki dan perempuan.
Jadi sudah suatu keniscayaan bahwa perempuan-perempuan Indonesia harus keluar dari lingkaran kegelapan menuju cahaya kebenaran. Demi harkat dan martabat, seorang perempuan harus cerdas, kreatif, berdaya dan dibingkai dengan jiwa spiritual yang tinggi. sehingga dari tangan perempuan mulia inilah lahir manusia-manusia yang mulia menuju peradaban yang agung.
            Semoga semangat Kartini, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Laksamana Malahayati, Dewi Sartika dan perempuan-perempuan yang telah berjuang meretas jalan menuju  terang benderang menjadi inspirasi bagi perempuan-perempuan Indonesia saat ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar